Main cast:
-Taylor Alison Swift
-Taylor Lautner
Genre:
Romantic
Note: Ini story belaka ya, kalo misalkan karakternya sedikit berbeda sama yang asli maaf ya kan inget ini hanya fanfiction ;D selamat membaca semoga ngerti sama alurnya. :)
- In the evening at Swaggie Cafe-
“Apa yang mau kau katakan?” tanyaku sambil menyeruput sisa Coffee Late di depanku.
“Begini… aku mmm aku…” jawabnya terbata-bata.
“Hey kau sebenernya mau ngomong apa sih Taylor
Lautner?” kataku kesal sambil menekankan perkataanku saat menyebut namanya.
“Ah tidak terlalu penting juga sih” jawabnya sambil
menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal itu. “Tapi kau harus tau”
“Ayo cepatlah, kalau begitu aku lebih baik pergi”,
jawabku sambil merapikan tas ku lalu berdiri bersiap-siap pergi meninggalkannya.
Saat aku
bersiap-siap untuk pergi dari café milik Justin Bieber itu tiba-tiba ada tangan
yang menahanku agar aku tak pergi dari tempat aku duduk, sebenarnya aku sibuk
harus ke studio rekaman sekarang juga untuk menyiapkan album terbaruku tapi
sepertinya dia sangat ingin menceritakan hal itu padaku meskipun aku sedikit
sebal karena ia terlalu bertele-tele.
“Eh mau kemana kau duduk dulu, bahkan
aku belum selesai bicara,” katanya sambil menahan tanganku.
Akupun kembali
duduk di kursi kayu itu, menunggu ia berbicara.
“Aku sudah putus dengan pacarku,”
katanya. Aku terdiam.
“Kau mau tau alasannya mengapa aku putus
dengannya?”
“Itu urusanmu, bukan urusanku”
“Aku putus dengannya karena aku menyukai
orang lain, kau tau? Sebenarnya aku sudah menyukai orang lain itu sudah lama,
sangat lama, bahkan mungkin sebelum aku berpacaran dengannya,”
“Lalu?” akhirnya aku merespon.
“dan orang yang aku suka itu kau, iya
kau Taylor Swift,” lanjutnya. Tanpa sadar ia telah memegang kedua tanganku.
“Kau sedang tidak bercanda kan, Taylor
Lautner?”
“Untuk apa aku bercanda?”, ia membalik
pertanyaanku.
Aku terdiam,
bingung apa yang harus ku katakan. Haruskah aku bilang kepadanya ‘Aku
menyukaimu juga’ lalu kita berpacaran, begitu? Mungkin. Tak tau mengapa aku
gugup saat ini, tubuhku serasa membeku, mulutku membisu tak tau apa yang harus
kukatakan. Hening. Aku terdiam, mungin aku sekarang terlihat bodoh di depannya.
“Hello?” ia membuyarkan lamunanku saat
ia menggerakan kedua tangannya di depan wajahku (ngerti gak maksudnya?._.)
“Eh, iya?”, jawabku saat tersadar dari
lamunanku dan tak sengaja menyenggol cangkir Coffee Late ku yang sekarang
isinya tumpah dan mengenai tanganku.
Aku yakin pasti
saat ini aku terlihat seperti orang bodoh, aku yakin. Sangat yakin.
“Eh.. kau baik-baik saja?”
“Iya tak apa,” jawabku sambil
mengeluarkan tissue dari tas warna peach pemberian ibuku.
Saat aku
mengeluarkan tissue, ia mengambilnya
dari ku begitu saja. Ia membersihkan tanganku dari tumpahan teh itu dengan
lembut. Secara tak sadar aku memandanginya, woah dia tampan juga, mengapa aku
baru menyadarinya. Aku tersenyum simpul.
“Ah, sudah bersih,” katanya sambil
melepaskan tangan nya dariku.
Aku tak sadar,
aku masih menatapnya.
“Hei kau tak perlu memandangi seperti
itu, aku tau aku sangat tampan,” ia berhasil menyadarkanku dari lamunanku.
“Pede sekali kau Taylor Lautner”
“Kau tak perlu menyangkalnya Taylor
Swift”
Kami tertawa
saat mendapati kami menatap satu sama lain, menyenangkan. Menyenangkan ngobrol
bersamanya seperti ini.
“Tay,”
“Iya?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku”
“Apa yang harus aku jawab? Kau saja
belum bertanya kepadaku”
“Ah iyakah? Kalau begitu aku bertanya
sekarang,”
Aku mengangguk, “Silahkan”
“Taylor Alison Swift, eh tunggu ini
tanggal berapa?”
“Jadi ini yang mau kau tanyakan? Tanggal
13”
“Bukan. Ah tanggal yang tepat”
“Lalu kau mau bertanya apa? Ayolah aku
jadi penasaran kan”
“Taylor Alison Swift, would you be my
girlfriend?”
Dunia serasa
berhenti berputar. Keheningan yang tercipta sekarang. Tak tau berapa lama aku
terdiam akhirnya akupun menjawab.
“Tentu saja.” Jawabku sambil tersenyum.
Ia menggenggam
tanganku erat.
“Aku berjanji aku akan selalu me…”
Ucapannya
terhenti saat aku menutup mulutnya dengan tanganku.
“Aku tak perlu
janjimu, kau hanya perlu membuktikannya”
Ia tersenyum
lebar, akupun membalas senyumnya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ia
mencium dahiku dengan lembut dan secepat kilat melepaskan ciumannya di dahiku.
Terlihat sekali di wajahnya bahwa saat ini ia sedang bahagia. Begitupun
denganku.
“Ayo kita
pulang, aku akan mengantarmu”
“Baiklah, ayo
pulang”
Akupun keluar
dari café itu bersamanya dan segera menaiki mobil sport berwarna putih miliknya
itu. Terlihat dari raut wajahnya ia sangat senang, akupun tertawa kecil melihat
ia se senang itu, pertama kalinya aku melihat se senang ini. Akupun senang
mengetahui akulah sebab dia senang saat ini. Ya, saat ini.